Waktu magrib sudah lewat beberapa menit yang lalu.
Di bawah bayang-bayang langit senja yang memerah tua, sosok itu
berjalan dengan langkah pelan. Ketika lampu kendaraan yang lewat di
jalan itu menyapu kegelapan, sosok yang sedang berjalan ke arah saya itu
mulai tampak jelas. Ia seorang lelaki berusia kira-kira tiga puluh lima
sampai empat puluh tahun. Kurus. Sangat kurus.
Berbaju bahan satin warna merah jambu yang tampak kebesaran. Wajahnya
dipenuhi bedak putih tebal, sementara alisnya dikelir sehingga terlihat
kontras dengan wajahnya yang tampak pucat. Blangkon kain bermotif batik
terpasang miring di atas kepalanya.
Sementara itu, di
pinggangnya dililit oleh kain jarik cokelat yang membalut sebagian
celana pangsi berwarna hitam. Ia tidak memakai sendal. Di depan dadanya,
melintang sebuah tali karet. Tali itu menyangga sebuah benda berbentuk
kotak dengan kabel pendek yang tersambung dengan mikrofon kecil di
tangan kirinya. Lelaki itu, dugaan saya, adalah seorang pengamen.
Lelaki kurus itu berjalan dengan kepala tertunduk. Suara musik dangdut
bervolume pelan mengiringi langkahnya yang pendek-pendek. Lampu dari
kendaraan yang melewatinya sesekali menyapu wajahnya yang tampak lelah.
Dugaan saya, lagi, lelaki itu sedang berjalan pulang setelah seharian
mengamen. Mungkin ia sedang menuju rumah kontrakannya yang berlokasi
entah di mana. Membawa uang receh tak seberapa yang telah ia kumpulkan
dengan susah payah, untuk ditukar dengan mimpi anak istrinya yang makin
hari terasa makin sulit dijangkaunya.
Langit senja menggelap sempurna.
Andai saya tahu siapa anak dari lelaki kurus itu, saya mungkin akan
menyeretnya ke tempat saya melihat sosok bapaknya saat ini seraya
berkata, "Nak, Dik, lihatlah lelaki itu. Itu bapakmu, Nak, Dik. Lihat,
apa yang sudah ia lakukan seharian ini agar ia mampu memenuhi
keinginanmu, Nak, Dik. Lihat wajahnya, lihat langkah gontainya, lihat
kakinya yang tanpa alas itu, yang telah mengukur jalanan seharian ini
agar kau bisa membeli sepatu baru yang akan menggantikan sepatu bututmu
yang sudah robek di sana-sini itu. Sepatu baru yang akan kau pakai ke
sekolah dan kau banggakan di depan teman-temanmu itu, Nak, Dik."
Kendaraan yang lalu-lalang di jalan sempit itu semakin banyak. Lelaki
kurus itu tampak harus menjaga langkahnya agar tidak mengundang celaka
bagi dirinya. Sesekali ia berhenti dan menunggu antrian kendaraan yang
makin mengular itu terurai satu demi satu.
Saya lalu
menghidupkan motor, memasukkan gigi dan menarik tuas gas perlahan. Dari
jarak yang tidak terlalu jauh, saya mengamati lelaki itu yang tampaknya
ingin mengambil sebuah jalan kecil agar terhindar dari lalu-lalang
kendaraan. Saya berusaha mengejarnya, dan, akhirnya dapat.
Saya memanggilnya. Ia menoleh. Mungkin kaget dengan panggilan dari orang
yang tak dikenalnya. Di balik wajah berpupur tebal itu, ia mengamati
wajah saya yang tertutup masker dengan tatapan ragu yang seolah bermakna
"Sampeyan memanggil saya?"
Ia menghentikan langkahnya di bawah sebuah pohon mangga.
"Mas! Tunggu!"
"Saya?"
"Iya, sampeyan."
"Ada apa ya, pak?"
Saya turun dari motor dan mendekatinya. Tangan kanannya yang tidak
memegang apa-apa itu langsung saya ambil. Saya serahkan sesuatu
kepadanya. Ia tampak terkejut dengan pemberian itu. Saya berbalik dan,
dengan gerakan yang sangat canggung, langsung berusaha tancap gas,
meninggalkannya yang berdiri mematung di pinggir jalan yang gelap itu.
Saat motor yang saya kendarai hendak berbelok ke jalan utama, saya
mendengar potongan teriakan lelaki itu yang langsung tercabik oleh
bisingnya kondisi jalanan malam itu.
"Terima ka..."
Kata-kata yang membuat hati bahagia dan melapangkan sempitnya jiwa-jiwa.
0 comments:
Post a Comment