Pagi
ini saya menyengaja berangkat ke kantor lewat jalur yang berbeda dari
biasanya. Jalanan belum ramai benar meski di beberapa lokasi sudah
terjadi sedikit antrian kendaraan. Semua berjalan biasa sebagaimana yang
lazimnya terjadi di wilayah pinggiran Jakarta sampai akhirnya saya
melihat sebuah pemandangan yang menarik.
Ada seorang suami dan istrinya yang sedang menggendong anaknya
yang masih bayi berdiri di salah satu sisi jalan. Sebuah keluarga muda.
Suaminya berpakaian necis, lengkap dengan jaket jas dan tas ransel
berwarna hitam yang ditaruh di dekat kakinya. Sementara istrinya
berpakaian rumahan: rapi, sederhana.
Dari gestur yang terlihat,
sang suami sepertinya hendak berangkat kerja (atau ke suatu tempat) dan
sang istri, beserta anaknya yang masih bayi, mengantarnya sampai ke
pinggir jalan. Saya mengamati keluarga muda itu. Perkiraan saya,
keduanya belum genap berusia dua puluh lima, atau di kisaran dua puluh
lima dan dua puluh enam.
Pasangan muda itu tampak sedang
berbincang kecil. Suasana lalu lintas yang tidak seberapa ramai tidak
sampai membuat mereka saling menaikkan suara. Dari amatan saya, sang
suami yang terlihat memegang kendali pembicaraan, sementara istrinya
tampak khidmat menyimak.
Mungkin ia sedang berpesan kepada
istrinya bahwa ia akan pulang terlambat. Saya membayangkan alasan-alasan
yang mungkin dikatakan sang suami: bahwa situasi lalu lintas
akhir-akhir ini sedang sulit diprediksi, bahwa atasannya di kantor
memerlukan bantuannya untuk menyelesaikan pekerjaan yang tenggat
waktunya akan habis, bahwa ia akan mengikuti pesta perpisahan teman
kantor yang dimutasi ke suatu daerah, bahwa ia akan mengunjungi seorang
kenalan yang istrinya baru saja melahirkan, dan alasan-alasan lainnya.
Istrinya tampak sesekali mengangguk dan beberapa detik kemudian,
keduanya sudah tampak siap berpisah. Mungkin bus yang akan dinaiki oleh
suaminya sudah dekat, atau taksi yang dipesan mereka sudah terlihat.
Sang suami menggendong anaknya yang masih bayi, menciuminya, dan tampak
sedang mengurapinya dengan kata-kata yang baik sementara sang istri
memandangi bapak dan anak itu sambil tersenyum. Setelah menyerahkan sang
anak kepada istrinya, ia lalu mencium pipi kiri dan kanan perempuan
muda itu, yang diikuti dengan sang istri yang mencium tangan suaminya.
Saya tidak tahu bagaimana kelanjutan adegan singkat itu karena antrean
kendaraan yang ada di depan saya berangsur terurai dan saya harus maju
terus. Peristiwa singkat yang baru saja saya lihat barusan itu bisa jadi
merupakan peristiwa yang biasa-biasa saja. Mungkin ada yang menganggap
bahwa peristiwa istri yang sedang melepas suami untuk bekerja adalah
suatu kelaziman, sebagaimana para istri di zaman purba yang melepas
suami-suami mereka berburu di alam bebas dan pulang ke rumah membawa
hasil buruan yang bisa mereka nikmati.
Tapi saya kemudian
tersadar, bahwa meski tampak sederhana, peristiwa kecil itu bisa jadi
suatu kemewahan tersendiri bagi pasangan suami istri yang dipisahkan
oleh jarak. Long distance love. Long distance relationship. Sebut saja
demikian. Pasangan yang, mungkin, baru saja dikaruniai anak, lalu sang
ayah harus keburu pergi ke tempat lain demi menyambung mimpi mereka
sementara sang ibu menjaga dan membesarkan sang anak di rumah. Atau
mereka yang berangkat saat langit masih gelap dan malam masih enggan
beranjak. Meninggalkan anak-anak mereka yang masih terlelap dan wajah
istri yang masih berbau bantal. Atau kemungkinan-kemungkinan lainnya.
Saya tidak tahu.
Peristiwa berpisahnya suami dan istri di
pinggir jalan yang agak ramai pagi hari itu mungkin terlihat biasa. Tapi
saya tidak memandangnya demikian. Ada banyak dimensi yang terlibat dari
peristiwa sederhana itu. Sesuatu yang tampak tenang di permukaan
biasanya menyimpan kerumitannya tersendiri di bawah permukaannya.
Peristiwa itu juga mengajarkan saya bersyukur, bahwa saya masih
diberikan kesempatan untuk melakukan ritual itu betapapun masih jauh
dari kata sempurna.
Namun betapapun pahitnya sebuah perpisahan,
hati yang saling mencinta akan tetap terpaut. Karena lautan, jalanan,
pegunungan, dan hutan-hutan hanya memisahkan raga dengan raga, bukan
jiwa dengan jiwa.
0 comments:
Post a Comment