Tuesday, August 22, 2017

Nasgor

Malam ini saya menunggu tukang nasgor gerobakan yang biasa lewat di depan rumah. Tak tek tak tek. Suara sutil beradu dengan wajan sudah terdengar di pertigaan. Saya lalu membuka pintu dan memanggil si mas penjual berlogat Jawa ngapak itu.

"Nasgor!"

Setelah si tukang memarkir gerobaknya di depan pagar, saya lalu memberikan piring kepadanya.

"Nasgor, mas. Pedes. Cabenya dua sendok. Jangan pake vetsin. Telornya dua didadar. Berapa?"

"Empat belas rebu, pak."

Saya mengangsurkan uang lima belas ribu.

"Fidel, kamu pegang kembaliannya, sekalian tolong bawain piring ke dalem kalo nasgornya udah jadi," perintah saya kepada si Tengah yang sedari tadi mengekor di belakang.

Saya lalu kembali ke kamar, melanjutkan bacaan yang tertunda ketika si Sulung datang mendekat.

"Abi, mbak Azka mau nasgornya."

"Lho, bukannya kamu barusan udah makan?"

"Iya, tapi mbak Azka masih lapar."

"Fidel juga mau, bi," si Tengah nimbrung juga.

Heran saya. Belum ada sejam yang lalu mereka makan bareng uminya, sekarang sudah minta makan lagi.

"Ya, udah. Mbak Azka, kamu bilang ke masnya supaya nasgornya jangan dibikin pedes."

Si Sulung langsung berlari ke depan rumah untuk merevisi orderan nasgor saya.

Tidak sampai lima menit, nasgor datang. Si Sulung dan si Tengah langsung mengambil posisi makan sementara uminya mengambilkan sendok untuk keduanya.

"Abi nggak jadi makan nasgor?" tanya istri.

"Biarin buat anak-anak aja."

Ketika keduanya makan dengan lahap, sambil memegang buku komik di tangannya, saya teringat dengan diri saya sendiri.

Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, saya merengek kepada bapak minta dibelikan ayam panggang yang diputar di dalam kotak kaca. Ayam panggang tersebut ketika itu dijual di Hero, Kreo, di pelataran supermarket, yang aromanya selalu menggugah saya ketika saya melewati jalan itu.

Beliau tidak langsung mengiyakan saat itu juga. Tapi akhirnya beliau beli juga buat syukuran hari lahir saya. Ketika ayam panggang yang dibungkus di dalam kotak karton itu saya buka, sembari menguarkan aromanya yang lezat, saya langsung memakannya dengan lahap. Itu ayam panggang pertama dalam hidup saya.

Ketika makan, karena saking lahapnya, saya tidak sempat menawari bapak. Saya juga tidak terpikir untuk melirik ke arah beliau yang, saya kira, sedang mengamati anak-anaknya yang tengah makan dengan lahap ini.

Akan tetapi, saya yakin, memandangi anak-anak yang sedang makan dengan lahap adalah kebiasaan yang akan dilakukan oleh -- nyaris -- semua orangtua. Meski untuk mendapatkan pemandangan itu, terkadang, para orangtua harus merogoh kantong mereka dalam-dalam.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.