Seorang
pengamen selesai menyanyikan sebuah lagu di bawah jembatan layang yang
memisahkan jalan Veteran dan jalan Hasyim Asyari. Ia lalu melepaskan
topi dengan tangan kanannya dan menengadahkannya ke atas, bergerak di
sela-sela motor yang mengantri lampu merah dengan sabar, sementara
tangan kirinya menggenggam ukulele yang baru saja dimainkannya. Satu
demi satu tangan dari para pengendara
terjulur memberikan sejumlah uang kepadanya. Ada yang memberi sekeping,
dua keping, selembar, dua lembar. Ada juga yang tidak memberi sama
sekali dan tidak mengacuhkan keberadaan pengamen itu.
Lagu yang
dibawakannya, boleh dibilang, biasa-biasa saja. Tidak terlalu istimewa
meski tidak juga sumbang. Kesimpulannya: cukup baik dan lumayan merdu.
Setidaknya untuk setingkat seorang pengamen di perempatan jalan yang
kerap bernyanyi sekenanya. Ketika pengamen itu bergerak di sela-sela
antrian kendaraan yang makin padat, dari belakang seorang pengendara
perempuan, saya melihat ada tangan terjulur yang hendak memberikan
sejumlah uang kepadanya.
Mungkin karena pandangan pengamen itu
terhalang oleh sesuatu, sekeping uang yang sedianya berada tepat di
samping pengamen itu ternyata tidak tergubris olehnya. Pengamen itu
hanya berjalan terus ke barisan yang ada di belakang dan mengais rupiah
demi rupiah dari tangan-tangan lainnya yang terhibur, atau kasihan,
dengan penampilannya. Semakin ia berjalan ke belakang, maka terlewatlah
satu peluang yang memungkinkannya untuk mendapatkan uang dari tangan
terjulur yang terlewat olehnya itu.
Peristiwa yang berlangsung
singkat itu kemudian membuat saya merenung. Kejadian pengamen yang
melewatkan, atau terlewatkan, sebuah pemberian karena terhalang sesuatu
yang entah namanya apa itu membuat saya terpikir tentang satu kata:
takdir.
Terkadang, ada lelaki yang begitu mengagumi seorang
perempuan, tapi keduanya tidak bisa bersatu di pelaminan. Ada seorang
perempuan yang menggilai seorang lelaki, tapi pujaan hatinya justru
bersanding dengan orang lain. Ada orang yang memupuk kecintaannya setiap
hari kepada seseorang, tapi cinta itu justru bertepuk sebelah tangan.
Ada lelaki dan perempuan yang saling mengagumi, yang secara kasat mata
peluang untuk bersatu sedemikian besar karena ditunjang dengan
faktor-faktor yang memang memudahkan mereka untuk bersatu juga sama
besarnya, tapi kisah merah-jingga malah berakhir dengan perpisahan.
Waktu kemudian berlalu dan orang-orang itu kemudian menjalani takdir
mereka masing-masing. Sang lelaki kemudian menikah dengan gadis lain
yang dahulu mungkin tidak pernah terlintas bahwa gadis itulah yang akan
menjadi pelabuhan hatinya, juga sebaliknya. Tak jarang, persatuan dua
hati yang berbeda itu terjadi di tempat lain yang tak pernah terbayang
oleh keduanya, dalam cara yang tak pernah direncanakan sebelumnya oleh
mereka.
Di perempatan yang disesaki dengan aroma knalpot
kendaraan dan gerak lelah dari tubuh-tubuh yang tengah berdesakan menuju
tempat tetirahnya itu, saya mencoba untuk mengerti tentang satu hal:
tentang bagaimana melihat takdir bekerja. [pedestrianisme]
April 2017
0 comments:
Post a Comment