Tuesday, August 22, 2017

Lelaki Berblangkon Miring

Waktu magrib sudah lewat beberapa menit yang lalu.

Di bawah bayang-bayang langit senja yang memerah tua, sosok itu berjalan dengan langkah pelan. Ketika lampu kendaraan yang lewat di jalan itu menyapu kegelapan, sosok yang sedang berjalan ke arah saya itu mulai tampak jelas. Ia seorang lelaki berusia kira-kira tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Kurus. Sangat kurus. Berbaju bahan satin warna merah jambu yang tampak kebesaran. Wajahnya dipenuhi bedak putih tebal, sementara alisnya dikelir sehingga terlihat kontras dengan wajahnya yang tampak pucat. Blangkon kain bermotif batik terpasang miring di atas kepalanya.

Sementara itu, di pinggangnya dililit oleh kain jarik cokelat yang membalut sebagian celana pangsi berwarna hitam. Ia tidak memakai sendal. Di depan dadanya, melintang sebuah tali karet. Tali itu menyangga sebuah benda berbentuk kotak dengan kabel pendek yang tersambung dengan mikrofon kecil di tangan kirinya. Lelaki itu, dugaan saya, adalah seorang pengamen.

Lelaki kurus itu berjalan dengan kepala tertunduk. Suara musik dangdut bervolume pelan mengiringi langkahnya yang pendek-pendek. Lampu dari kendaraan yang melewatinya sesekali menyapu wajahnya yang tampak lelah. Dugaan saya, lagi, lelaki itu sedang berjalan pulang setelah seharian mengamen. Mungkin ia sedang menuju rumah kontrakannya yang berlokasi entah di mana. Membawa uang receh tak seberapa yang telah ia kumpulkan dengan susah payah, untuk ditukar dengan mimpi anak istrinya yang makin hari terasa makin sulit dijangkaunya.

Langit senja menggelap sempurna.

Andai saya tahu siapa anak dari lelaki kurus itu, saya mungkin akan menyeretnya ke tempat saya melihat sosok bapaknya saat ini seraya berkata, "Nak, Dik, lihatlah lelaki itu. Itu bapakmu, Nak, Dik. Lihat, apa yang sudah ia lakukan seharian ini agar ia mampu memenuhi keinginanmu, Nak, Dik. Lihat wajahnya, lihat langkah gontainya, lihat kakinya yang tanpa alas itu, yang telah mengukur jalanan seharian ini agar kau bisa membeli sepatu baru yang akan menggantikan sepatu bututmu yang sudah robek di sana-sini itu. Sepatu baru yang akan kau pakai ke sekolah dan kau banggakan di depan teman-temanmu itu, Nak, Dik."

Kendaraan yang lalu-lalang di jalan sempit itu semakin banyak. Lelaki kurus itu tampak harus menjaga langkahnya agar tidak mengundang celaka bagi dirinya. Sesekali ia berhenti dan menunggu antrian kendaraan yang makin mengular itu terurai satu demi satu.

Saya lalu menghidupkan motor, memasukkan gigi dan menarik tuas gas perlahan. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, saya mengamati lelaki itu yang tampaknya ingin mengambil sebuah jalan kecil agar terhindar dari lalu-lalang kendaraan. Saya berusaha mengejarnya, dan, akhirnya dapat.

Saya memanggilnya. Ia menoleh. Mungkin kaget dengan panggilan dari orang yang tak dikenalnya. Di balik wajah berpupur tebal itu, ia mengamati wajah saya yang tertutup masker dengan tatapan ragu yang seolah bermakna "Sampeyan memanggil saya?"

Ia menghentikan langkahnya di bawah sebuah pohon mangga.

"Mas! Tunggu!"

"Saya?"

"Iya, sampeyan."

"Ada apa ya, pak?"

Saya turun dari motor dan mendekatinya. Tangan kanannya yang tidak memegang apa-apa itu langsung saya ambil. Saya serahkan sesuatu kepadanya. Ia tampak terkejut dengan pemberian itu. Saya berbalik dan, dengan gerakan yang sangat canggung, langsung berusaha tancap gas, meninggalkannya yang berdiri mematung di pinggir jalan yang gelap itu. Saat motor yang saya kendarai hendak berbelok ke jalan utama, saya mendengar potongan teriakan lelaki itu yang langsung tercabik oleh bisingnya kondisi jalanan malam itu.

"Terima ka..."

Kata-kata yang membuat hati bahagia dan melapangkan sempitnya jiwa-jiwa.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.