Thursday, January 12, 2017

Tukang Ojek

Kalau tuan dan puan melewati jalan di depan Universitas Budi Luhur yang mengarah ke Deplu, tuan dan puan pasti akan mendapati sebuah warung sate di situ. Di belakang warung sate itu, di bawah naungan pepohonan, dahulu, akan tuan dapati sesosok lelaki tua berjaket hitam lusuh yang sedang duduk di atas sadel sepeda motor bebek.

Tahukah tuan siapa lelaki tua itu? Ia adalah seorang tukang ojek. Hanya tukang ojek pangkalan biasa.

Sepeda motor bebek yang diduduki tukang ojek itu berjenis Honda Astrea Prima dengan penampilan yang agak mencolok dimana jari-jarinya peleknya berwarna hijau stabilo. Usia sepeda motor itu barangkali seperempat kali lebih muda dari usia penunggangnya. Berbeda dengan tunggangan tukang ojek lainnya yang tampak segar dan muda.

Tidak sebagaimana kebanyakan tukang ojek yang mengetem di sepanjang jalan Ciledug Raya, yang suka berebut penumpang yang baru turun dari angkot atau metromini, tukang ojek yang sedang kita bahas kali ini tidak demikian adanya. Ia lebih suka diam menunggu sambil memerhatikan keadaan sekitar. Ketika kerumunan tukang ojek lainnya sudah menyurut ke sisi trotoar, tukang ojek yang sedang tuan dan puan perhatikan itu masih bergeming di tempatnya menunggu satu dua penumpang dengan setia.

Meski tukang ojek itu tidak seagresif rekan sesama tukang ojek lainnya, ada saja satu dua penumpang yang memakai jasanya. Tuhan memang Mahapemurah, tuan dan puan. Ketika para penumpang yang baru turun dari bus dan atau angkot enggan direcoki perkara memilih tukang ojek, yang kerap saling berebut secara brutal, penumpang itu biasanya akan berjalan sedikit ke dalam jalan yang dihimpit dua sungai kecil itu, setelah menolak tawaran satu dua tukang ojek yang tak lelah mengerumuninya, dan mendapati seorang tukang ojek yang tidak seagresif teman-teman sesama tukang ojek lainnya. Penumpang itu, biasanya perempuan, lalu bertanya, "Ojek, bang?" yang langsung dijawabnya dengan anggukan mantap seraya menstarter pengkolan motornya.

Setelah sang penumpang melandaskan pinggulnya di atas sadel, tukang ojek itu kemudian melaju perlahan mengantarkannya sampai ke tujuan. Kadang mereka mengobrol ngalor-ngidul, biasanya seputar keluarga dan pekerjaan. Kadang keduanya hanya diam. Tak jarang motor tua itu terbatuk-batuk karena memikul beban yang tidak ringan. Apalagi jika penumpangnya adalah ibu-ibu yang sarat muatan.

Tapi tukang ojek itu, tuan dan puan, tidak pernah pilih-pilih penumpangnya. Pernah suatu hari ada anak sekolah yang nyaris terlambat hendak naik ojek. Apa lacur, tukang ojek lainnya menolak. Dengan langkah gontai anak sekolah itu berjalan ke tempat tukang ojek kita ini biasa mangkal. Sejenak ragu, anak sekolah itu lalu bertanya kepada tukang ojek itu apakah ia bisa mengantarkannya. Dengan sigap, diterimanya tawaran itu dan berbahagialah sang anak sekolah dibuatnya.

Ia biasa mangkal di tempat itu dari pukul delapan pagi sampai pukul sebelas. Menjelang pukul duabelas, ia akan bertolak ke arah Petukangan untuk menjemput anak tetangga yang berlangganan ojek dengannya. Jika tukang ojek itu berhalangan, ia akan mengutus anak laki-lakinya yang sedang tidak ada kegiatan untuk melakukan tugas penjemputan itu. Setelah makan siang, ia biasa kembali mangkal di tempat itu dan kembali ke rumah pada sore hari.

Pernah juga ia pulang agak sedikit malam hingga membuat istrinya khawatir. Sepulangnya ke rumah, tukang ojek itu menampakkan wajah sumringahnya karena ia tadi mendapatkan penumpang yang minta diantar agak sedikit jauh sambil menunjukkan berlembar uang kertas lecek hasil mengojeknya seharian itu.

Demikian ritme itu berjalan sampai akhirnya tukang ojek itu menderita sakit yang menghalanginya untuk menarik ojek. Kegiatan antar-jemput pun sudah diserahkan kepada anak sulungnya yang kadang diutus istrinya untuk mengantarkan barang dagangan ke kantin kampus Budi Luhur yang ada di seberangnya, atau mengantarkan dagangan ke kantin SMU 63 yang berjarak tidak terlalu jauh dari tempat itu.

Tuan dan puan mungkin bertanya, bagaimana kelanjutan kisah dari tukang ojek itu. Bagaimana kabar sakitnya? Apakah ia sudah sembuh? Bagaimana kabar anak laki-lakinya yang biasa menggantikannya menjadi tukang ojek sembari mengantarkan dagangan itu? Apakah kita masih bisa mendapatinya menunggu penumpang dengan setia di bawah pohon itu sebagaimana yang pernah kita lihat dahulu?

Dengan penuh rasa penyesalan, saya ingin memberitahukan kepada tuan dan puan bahwa tukang ojek itu sudah lama meninggal. Tepatnya sembilan tahun yang lalu. Tukang ojek penyabar itu akhirnya menyerah dengan sakit yang tidak terlalu lama dideritanya justru ketika tubuhnya sedang dalam kondisi yang sudah jauh lebih baik.

Lalu bagaimana kabar anak laki-lakinya saat ini? Anak laki-laki itu sekarang sedang ada di sini; menuliskan hikayat singkat tukang ojek itu kepada tuan dan puan semua sambil merogoh kenangan tentangnya dari hari-hari yang telah lewat. Anak laki-laki itu saya dan tukang ojek itu adalah almarhum bapak saya.

Jika suatu hari tuan dan puan melewati tempat itu, tempat tukang ojek itu biasa menanti penumpang dengan setia di bawah naungan pohon itu, mohon kirimkan doa untuknya dan untuk para ayah yang sudah bersusah-payah mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihii wa'fu'anhu.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.